Sudah bulat tekatku.
Aku harus menemuinya.
Atau aku akan menyesal selamanya.
Di sini kuberada. Berbekal uang 100 ribu, aku menempuh perjalanan dari Semarang ke Jogja. Mungkin kau berpikir aku nekat. Tapi itulah aku. Aku memang nekat. Di hari Minggu ini aku berbohong pada ibuku bahwa aku akan belajar bersama di rumah teman. Tapi kini aku sudah berada puluhan kilometer dari rumahku sendiri. Aku sempat menyesal karena senekat ini. Tapi semuanya sudah terlanjur. Apa boleh buat, kan? Lagi pula, aku akan lebih menyesal jika tidak menemuinya.
Pukul satu siang aku turun dari bis patas di terminal Jombor. Lalu aku naik ojek ke sebuah mall yang dekat dengan tempat dimana aku akan menemuinya. Entah kenapa aku tertarik untuk datang ke mall yang sering dijadikannya tempat berkumpul bersama teman-temannya. Aku pun makan siang di sana dan mencoba bermain video games yang sering ia mainkan. Setelah gagal berkali-kali, akhirnya aku berjalan-jalan tanpa tujuan di mall ini.
Berjalan sendirian di mall seperti ini membuat kenanganku akan dirinya kembali muncul. Sungguh saat-saat yang indah ketika dia ada di sampingku. Menemaniku saat sakit dan dengan riang berbagi cerita bersamaku. Dia adalah malaikatku. Penyelamatku dari tindakan bodoh yang hampir membuatku kehilangan nyawa. Tapi dengan kelakuanku yang bodoh aku sukses membuatnya kecewa dan pergi dari hadapanku. Meninggalkan kenangan yang terus menghantuiku.
Pukul tiga sore.
Inilah saatnya aku pergi menemuinya. Aku tahu dia akan berada di pensi tahunan sekolahnya. Aku sudah memastikannya berkali-kali, sampai saat ini. Aku melihat status terbarunya di jejaring sosial yang menyatakan ia sudah berada di tempat itu dan sedang mempersiapkan pensi yang akan digelar nanti malam.
Aku berjalan kaki menuju tempat dimana ia berada. Sebentar lagi aku akan bertemu dengannya lagi.
Jantungku mulai berdetak kencang saat aku melihatnya. Dari seberang jalan, aku bisa melihat dia bercakap-cakap dengan seorang temannya.
Oooh... rindunya aku dengan senyum manismu itu...
Saat aku sudah menyeberang jalan, menuju ke arahnya, dia melihatku. Bagaikan melihat setan, mukanya yang ceria tiba-tiba berubah pucat saat menyadari keberadaanku. Ia pun mencoba lari ke kerumunan orang yang mengantri tiket.
Aku berusaha mengejarnya, dan aku berhasil.
Aku menyentuh pundaknya dan dia berhenti.
"Lissa, tolong dengarkan aku," pintaku memohon.
Ia berbalik badan dan menatapku dengan wajah ketakutan. "Mau apa kamu kesini? Belum puas membuatku ketakutan malam itu?"
"Lissa, aku tahu aku salah. Aku terlalu memaksa persaanmu. Aku ke sini hanya untuk minta maaf."
"Sudah kumaafkan," jawabnya ketus.
"Lissa, aku tahu aku ini laki-laki tak tahu diri. Tapi aku jauh-jauh kesini ingin minta maaf padamu secara tulus. Kamu tahu? Wajah kecewamu malam itu terus menghantuiku."
"Itu salahmu sendiri." Ia menatapku dengan mata yang berkaca-kaca menahan tangis.
"Lissa, please, listen to me. I just wanna say sorry. You may hate me, but please... please forgive me." Aku tak tahu lagi berapa banyak kata "please" yang harus kukatakan agar dia mau memaafkanku.
Air matanya jatuh. Lalu ia berlari secepat mungkin ke ruang panitia. Aku sudah tak mungkin mengejarnya lagi. Hari sudah sore. Aku harus pulang.
***
Senja telah tiba. Kulihat mentari perlahan kembali ke peraduannya. Kini, aku sudah duduk di dalam bis patas jurusan Jogja-Semarang. Aku sudah harus tiba di rumah sebelum larut malam.
Kenanganku bersama Lissa tak akan kulupakan. Dia tetap malaikatku, walaupun belum bisa memaafkanku. Dia adalah seorang malaikat yang membuatku belajar dari kesalahanku.
Walaupun mungkin kini dia belum memaafkanku, setidaknya aku sudah mencoba meminta maaf padanya. Ku hanya bisa berdoa, semoga suatu saat nanti dia bisa memaafkanku. :")
THE END
-Deatara-
like it so much juga... mesti bukan happy ending! tapi laki-laki itu sudah belajar untuk berbuat baik! bravo,,, kamu punya bakat!
ReplyDeletehuaa... thanks banget... :D
ReplyDeletetapi aku masih harus banyak belajar nih...
mohon bantuannya...