Aku baru menyadarinya. Menyadari perubahan-perubahan dalam dirinya. Aku merasa bodoh. Kenapa aku baru menyadarinya? Aku bahkan berpikir aku sudah tidak layak lagi disebut sahabatnya. Memangnya ada sahabat yang baru menyadari bahwa sahabatnya sangat tersiksa dengan cintanya yang bertepuk sebelah tangan, setelah sekian lama mengira bahwa sahabatnya itu hanya sedang bertengkar dengan adiknya seperti biasa.
Aku sekarang merasa sangat tolol. Bagaimana mungkin ia sering melamun dan memasang muka sedih jika hanya karena bertengkar dengan adiknya? Aku bukan baru saja mengenalnya. Biasanya, setelah dia bertengkar dengan adiknya, dia hanya membutuhkan waktu kurang dari seperempat jam untuk menenangkan dirinya sendiri dan menjadi riang kembali.
Mary. Itulah nama sahabatku. Namanya sangat manis, namun kepribadiannya sangat bertolak belakang dengan namanya. Dia adalah seseorang yang tomboi. Rambut ikalnya yang pendek tidak pernah disisir. Tidak pernah menyentuh yang namanya bedak, apalagi blush on atau eyeliner. Bahkan ia tidak punya rok selain rok sekolahnya. Setidaknya itu yang aku tahu selama ini. Sebelum dia merasakan yang namanya cinta.
Kini dia sedikit berbeda. Aku pernah sesekali memergokinya sedang memakai bedak di toilet sekolah. Saat itu Mary terlihat gugup. Aku masih ingat dia berkata bahwa bedak itu digunakannya untuk menutupi pipinya yang lebam karena tidak sengaja tertendang temannya saat latihan karate. Bodohnya aku, walaupun aku tidak melihat sedikitpun lebam di mukanya, aku tidak bertanya apapun lagi. Aku hanya menganggap mungkin lebamnya sudah hampir sembuh.
Hingga akhirnya aku melihat Mary salah tingkah ketika seseorang berjalan melewatinya, persis di depannya. Walaupun orang itu tidak menoleh ke arahnya, apalagi menyapanya, aku melihat Mary tersenyum senyum sendiri. Wajahnya memerah. Saat itulah aku menyadari bahwa dia sedang jatuh cinta, sayangnya tidak pada orang yang tepat. Setomboi-tomboinya gadis, ia tetaplah gadis. Sangat tidak mustahil jika seorang gadis (tomboi) menyukai seorang laki-laki. Ya kan?
Aku baru paham kenapa ia tidak bercerita tentang perasaannya padaku. Dia malu. Dia juga belum percaya dan belum mau mengakui dia bisa jatuh cinta kepada orang itu.
Karena orang yang dicintainya adalah kakakku sendiri.
Aku tahu bahwa selama ini tidak pernah terlintas kata "cinta" di otak kakakku. Dia lebih menyukai kesendiriannya bersama buku-buku tebal, atau bersama komputer kesayangannya. Bahkan gadis-gadis yang pernah mendekatinya kini sudah menyerah menaklukan hati kakakku itu. Aku pasti tidak tega jika Mary harus mengalami hal serupa dengan gadis-gadis itu. Walaupun aku tahu, Mary pasti sudah sedikit merasakan rasa sakit itu.
Aku harus melakukan sesuatu. Untuk membuat sahabatku bahagia, juga untuk menebus ketololanku itu.
No comments:
Post a Comment