Pages

Tuesday, December 27, 2011

Dear diary, masih bolehkah aku berharap?


Dear Diary,

Kini aku sudah tak perlu mengecek e-mail setiap waktu.
Pun mengecek SMS dan kotak surat di depan rumah.
Semua sudah jelas.

Aku harus berterima kasih karena dia sudah menghapuskan kegalauanku selama ini.
Dan juga karena dia telah memberitahuku tentang keadaan yang sebenarnya.
Walaupun semua ini menyakitkan.

Aku mencoba tetap tersenyum saat mendengar berita yang tiba-tiba itu.
Aku menyayangkan kenapa kabar itu tidak datang di waktu aku sendiri.
Sehingga aku tak perlu memasang senyum yang melelahkan ini.

Dua jam.
Waktu yang sangat lama untuk berpura-pura tegar di hadapan semua orang.
Aku lelah.
Aku ingin sekali menumpahkan air mata ini dan menagis sepuasnya.

Aku berusaha menghibur diriku.
Bahwa aku sudah memberikan semua yang aku bisa.
Bahwa Tuhan akan memberiku yang lebih baik dari ini.

Tapi mengapa saat aku menghibur diriku sendiri, aku membayangkan sesuatu yang hampir mustahil?
Aku membayangkan jika ini hanyalah akal-akalannya sebelum memberitahu kabar yang sebenarnya -- yang aku harapkan.
Aku sudah gila, pikirku.

Aku tahu hidup ini tak seindah dongeng.
Dan mungkin di hidupku, aku bukan pemeran utamanya.
Aku bukan Cinderela.
Tapi serakakah aku jika ingin menjadi seperti Putri Cantik itu?

Diary, sekarang perasaanku telah membaik setelah bercerita padamu.
Tapi aku punya sesuatu yang aku ingin tahu jawabannya:
Masih bolehkah aku berharap -- ditengah keputusasaan ini -- agar takdir kembali di sisiku?

Thursday, December 15, 2011

Sebuah cerita tentang harapan


"Harapan itu kecil. Lebih baik kamu jangan terlalu berharap."

Kata-kata darimu mengguncang tubuhku. Kelopak mataku hampir tidak sanggup membendung bulir-bulir air yang makin lama makin menumpuk. Nafasku tercekat. Rasanya oksigen menjadi begitu sedikit. Kakiku bergetar lemas. Aku benar-benar kecewa.

Tak bolehkah aku berharap? Aku tahu kesempatan ini kecil. Sangat kecil malah. Tapi aku sangat ingin berharap. Aku ingin optimis. Tapi di lain sisi, aku tidak siap kalau harus menerima kenyataan yang berbeda dengan keinginanku.

Berbagai pikiran berkecamuk dalam pikiranku. Kenangan-kenangan akan harapan selalu terbersit dalam benakku.

Aku ingat kau pernah menyuruhku untuk optimis dan tetap fokus dalam usahaku. Kau menyuruhku untuk tidak melihat kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan kuhadapi. Kau selalu meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja setelah aku mengerahkan semua usahaku.

Aku masih ingat saat kau berkata, "Aku tahu, kamu pasti bisa." Kau selalu membuatku nyaman dengan kata-katamu itu. Kau tidak memberitahuku kenyataan yang sebenarnya. Kenyataan bahwa ternyata harapan ini tak sebesar yang dulu kau ucapkan.

Kenapa baru sekarang? Kenapa kau baru memberitahuku bahwa kesempatannya begitu kecil, setelah aku melakukan semuanya? Aku begitu sakit hati.

Aku takut aku tidak bisa berhasil. Ya, aku takut gagal. Aku takut usahaku beberapa hari itu sia-sia. Aku sangat menginginkannya. Sangat menginginkannya sampai-sampai aku tidak memikirkan kemungkinan aku gagal.

Aku tahu kau menyuapiku dengan harapan-harapan itu agar aku bisa melakukan usaha maksimalku. Tapi sadarkah kau, bahwa secara tidak langsung kau bisa membuatku gila jika harapan itu tak terpenuhi?

Aku tidak bisa menyalahkanmu atas tindakanmu dulu. Tapi mengapa sekarang kau malah berkata sebaliknya? Mengatakan bahwa aku jangan terlalu berharap, karena peluangnya kecil.

Peluang, peluang, peluang. Itulah yang memenuhi benakku. Kenapa tidak ada peluang yang 100%? Peluang yang tak akan membuatku cemas dan gelisah seperti ini? Aku menyadari pertanyaan bodohku. Pertanyaan yang aku sendiri tahu jawabannya: karena ini hidup.

Mungkin orang-orang berpikir aku ini sudah gila tentang segala keoptimisanku. Aku bisa membayangkan orang-orang memasang muka kasihan kepadaku, kepada gadis yang tersiksa karena keoptimisannya sendiri. Aku tahu aku egois: tidak mau menerima apa yang berlawanan dengan keinginanku. Tapi apa kau bisa menganggapku egois setelah sekian lama aku hanya duduk diam dan bersabar sampai ada secercah harapan datang? Tak tahukah kau bahwa menunggu itu sangat menjemukan? Aku sudah hampir menangis saat aku membayangkan diriku gagal dan harus mulai dari awal: menunggu lagi.

Apakah aku salah kalau aku begitu optimis seperti ini? Apa aku salah jika aku sangat menginginkannya? Hampir semua orang di dekatku sudah memilikinya. Apakah aku berdosa jika aku berharap bisa memilikinya juga? Memilikinya dan membuktikan apa yang selama ini hanya bisa kudengar dari cerita-cerita mereka?

Tiba-tiba, aku merasakan tubuhku tertarik dalam dekapanmu. Hangat tubuhmu membuatku yakin, bukan yakin bahwa aku akan berhasil, tetapi yakin bahwa semua akan baik-baik saja walaupun aku gagal. Tubuhku menjadi lebih baik -- walaupun bendungan air mataku bobol. Aku menangis dalam pelukanmu. Namun, tangisan ini bukanlah tangisan sedih akan harapan yang memang kecil, melainkan tangisan lega karena aku tahu kau akan tetap mencintaiku, apapun hasilnya. =' )

Wednesday, December 14, 2011

Chef Choi's diary eps. 2 part 1

Lampu berubah menjadi merah. Mobil-mobil berjalan di sekitar kami -- aku dan Ikan Mas -- tapi kami tak peduli.

Ikan Mas bertanya kepadaku apakah aku mengajaknya berkencan karena merasa bersalah telah memecatnya. Aku menjawabnya dengan mudah, "Aku sama sekali tidak menyesal". Lalu aku menjelaskannya, "Tidak ada wanita di dapurku. Kau tidak dapat bekerja di dapurku."

Lampu berubah menjadi hijau lagi. Rasanya aku ingin sekali menggandeng tangannya, tetapi dia menyingkirkan tanganku dan entah kenapa karenanya aku jadi merasa begitu kecewa.

Rasanya, mulutku tidak terkoordinasi baik dengan hatiku. Aku justru berkata padanya untuk melakukan saja semaunya dan aku tidak peduli dengan wanita yang tidak menyukaiku.
Setelah aku mengatakannya, aku berjalan pergi tanpa menoleh. Aku sudah tidak ingin mendengar kata-kata darinya.

***

Paginya, aku sampai di La Sfera dengan mood yang bagus.
Aku masuk ke dapur aku memandangi ikan mas -- secara denotatif  -- dan berbicara dengan mereka (aku tidak peduli kau akan menganggapku gila atau apa).


Setelah meminum kopi sejenak di ruanganku, aku beranjak ke loker. Aku tertarik untuk melepas nama-nama wanita dari loker-loker itu. Sesampainya di locker milik Ikan Mas, aku membentuk tanganku menjadi seperti pistol, dan "Puufh~," aku menembaknya sebelum melepas namanya.


Aku kaget sekali menemukan seseorang dalam lokerku. Dan itu adalah Ikan Mas! Dia tertidur dengan bau minuman keras.

Ikan Mas terbangun. Kami saling menatap kebingungan.
Ikan Mas: Kau pagi sekali.
Aku: Bukankah kau lebih pagi?
Lalu Ikan Mas menjelaskan bahwa dirinya tidak pulang ke rumah. Katanya, jika dia pulang, dia tidak punya keberanian untuk kembali.
Dan dia menggumam bahwa lokerku nyaman, besar, enak, dan hangat -- berkebalikan denganku.
Ia juga berkata, dia tidak akan berhenti dan akan terus bekerja di La Sfera. Ia sudah bekerja di sana selama tiga tahun sebelum akhirnya punya kesempatan untuk memasak.

Aku lalu memberitahunya bahwa ia benar-benar seperti ikan mas sebelum aku mengusirnya dari lokerku.
Tapi kakinya malah kram, membuatku terpaksa memijatnya. Aku masih ingat kata-kata yang ia ucapkan dengan memelas, "Aku ingin membuat pasta."
Sejujurnya, aku sedikit tersentuh dengan kata-katanya itu. Tetapi yang keluar dari mulutku hanyalah kata-kata yang kasar. Aku mengusirnya dari lokerku.

***

Aku lihat Ikan Mas tetap ngotot ingin bekerja. Ia berada bersama para koki yang lain saat meeting staf. Aku tidak mengusirnya, tetapi juga tidak menganggapnya ada. Betapa mengganggunya dia!

Aku mengubah menu hari ini. Tapi aku bisa merasakan para koki itu tidak bekerja dengan senang. Akhirnya, sesi makan siang kacau. Aku tak bisa mengendalikan kesabaranku dan berteriak sendiri. Sungguh gila aku saat itu!

Tak lama kemudian, aku mendapat ide bagus. Aku keluar ke ruang makan dan menghampiri tiga pemuda yang telah lama kukenal. Aku menyuruh mereka untuk menggantikan posisi ke-3 wanita yang telah kupecat.

Saturday, December 10, 2011

Chef Choi's diary eps. 1 part 3

Pintu lift terbuka.
 Lagi-lagi si Gadis Ikan Mas! *entah kenapa aku ingin menamainya Ikan Mas*
Rupanya dia juga tinggal di gedung ini, aku menyimpulkan.

Aku tak menanggapi ketika ia berkata masih merasa malu dan minta maaf karena mengira aku sebagai asisten barunya.
Aku justru mengingatkan tentang kencan malam ini padanya, kemudian aku langsung keluar.
Aku tak sabar menunggu malam ini.

Hari ini akan kubuat berbeda dengan kemarin.
Akulah yang berkuasa di dapur sekarang.
Sekarang akan kutunjukkan diriku yang sebenarnya.

Benar-benar payah!
Makan mereka seperti sampah.
Tak layak untuk disajikan, apalagi di restoran ternama seperti La Sfera.

"Prang!"
Kulempar makanan sampah itu ke lantai.
Mereka terlihat kaget, namun aku tak peduli.
Dan aku terus memberi mereka "kejutan-kejutan" yang lainnya.

Bagus. Keempat wanita sudah melakukan kesalahan. Termasuk Ikan Mas.
Ia tak sengaja membuat hujan minyak panas.
Namun entah kenapa, tubuhku langsung bergerak refleks untuk melindunginya dari minyak panas itu.

Setelah jam makan malam, aku menegur mereka, para gadis yang seharian telah membuat berbagai kesalahan.
Mereka sukses tercengang-cengang tidak percaya saat aku memecat mereka satu per satu.
Aku puas.
Tidak ada lagi wanita di dapurku.

"Bagaimanapun, kau tetap akan memecat wanita, bukan?" tuduh Ikan Mas saat kami bertemu di jalan malam harinya.
Memang benar. Aku merencanakannya dari awal. Dan ia sudah menyadarinya.
Oleh karena itu, aku tidak ingin menjawab.

Aku hanya bertanya, "Kau belum pernah berkencan dengan pria sebelumnya, kan?"
Aku lalu mendekat dan berkata padanya, "Ayo kita berkencan."

 Entah kenapa aku merasa bahwa ia sangat menarik.

Chef Choi's diary eps. 1 part 2

Aku berjalan masuk dengan percaya diri.
Gadis yang kutemui kemarin memanggilku dan menyuruhku ikut berbaris.
 
Aku tak menanggapinya.
Aku menjabat tangan Presiden, lalu berjalan menuju ke depan barisan.
Lalu aku memperkenalkan diriku.
Aku kembali mengamati gadis itu.
 
Ekspresi bingungnya membuatku tertawa dalam hati.
Cepat atau lambat, Ia harus menahan malu atas perbuatannya kemarin.
 
Aku menyalami para staf satu per satu.
Kubiarkan mereka terpesona padaku, sebelum kutunjukkan sisi lainku.
sampai akhirnya aku berjalan ke barisan terbelakang, tempat si gadis berdiri.
 
Seo Yoo Kyung. Ia memperkenalkan dirinya -- tentu saja -- dengan malu-malu.
Aku tersenyum puas melihat tingkahnya.
 
Di dapur, aku menyuruh para koki menyiapkan makan seperti biasa.
Aku mundur dengan tenang, dan melihat cara mereka bekerja.
 
Si gadis -- Yoo Kyung maksudku -- tetap terlihat profesional, walaupun kami pernah bertemu sebelumnya.
Namun, cara memasaknya masih kacau balau.
Melihatnya menggoyang wajan dengan salah, aku lantas memberikannya contoh sebentar.
Tidak perlu lama, karena ia akan segera keluar dari dapur.
"Ini bukan dapurku. Dapurku baru akan mulai," kataku pada manajer saat restoran telah tutup.

Chef Choi's diary eps. 1 part 1



"Bruk"
Kulihat seorang gadis jatuh karena ditabrak seorang pria yang sedang terburu-buru.
Aku lantas menghampiri gadis itu untuk menolongnya.
Di tengah zebra cross, kulihat gadis itu sedang berusaha memungut ikan mas yang terlihat menggeliat sengsara.
Aku menyuruh gadis itu untuk merapatkan kedua tangannya. Lalu dengan cepat aku menaruh ikan mas sekarat itu di tangannya, kemudian menuang air ke dalamnya.
Kulihat lampu hampir berubah. Kusuruh gadis itu berlari ke trotoar. Aku mengikutinya sambil membawakan barang belanjaannya.
Untunglah kami tepat waktu.

Gadis itu berterima kasih padaku. Lalu kami saling mengucapkan selamat tinggal.
Eits!
Aku langsung tersadar. Bagaimana dengan belanjaan gadis itu?
Akhirnya aku bersedia membawakan belanjaan itu sampai tujuan si gadis.


Sesekali aku menuang air ke tangannya. Untuk mengusir kecanggungan diantara kami, aku melontarkan fakta lucu tentang ikan mas, yang hanya punya ingatan dua detik.

Sesampainya di tempat tujuan si gadis, entah kenapa rasanya aku enggan berpisah. Aku merasa kami saling tertarik. Aneh sekali.
Saat aku hendak pergi, tiba-tiba gadis itu ingat bahwa ia tidak dapat membuka pintu. Ia lalu memintaku untuk membukakan pintu.
Sungguh sulit menemukan kunci yang dimaksud gadis itu. Kuncinya tidak ada di dalam tas. Ia lantas menyuruhku mengambil kuncinya di kantong jaketnya.

"Apa kau sengaja berkata kau tidak ingat dimana kau meletakkan kuncimu agar aku mencari kemana-mana?" candaku pada gadis itu.
Beberapa saat kemudian, akhirnya aku menemukan kunci itu. Aku tidak langsung membukakan pintunya. AKu memikirkan sesuatu.

"Apa nanti malam kau bebas?" aku bertanya dengan sedikit cengiran. Kulihat gadis itu terperanjat. Ekspresinya sangat lucu, membuatku tertawa.
"Mengapa ragu-ragu? Kau seharusnya menolak jika diajak untuk pertama kalinya," kataku lagi.

Ia berkata bahwa ia bebas setelah jam 11 malam. Aku pun menjawab, "Pria dan wanita bertemu dalam kencan pertama mereka di waktu seperti itu hanya ada satu hal yang bisa dilakukan. Tidur bersama. Itu pasti bukan maksudmu, tapi aku senang dengan pikiran itu."

"Aku baru selesai kerja jam segitu. Aku hanya berpikir mau membelikan bir dan berterima kasih," katanya meluruskan.

"Kau bisa meletakkan ikan itu sebentar dan mencari kuncinya sendiri, tanpa membuatku merabanya kesana-kemari," sindirku kemudian

"Baik, ayo ketemu jam 11 malam. Di tempat yang sama, di jalan. Tidak malam ini, tidak besok pagi, tapi lusa. Aku pura-pura sudah ditolak malam ini dan besok pagi, demi harga dirimu, ok?" ajakku -- maksudku paksaku.
Ia tersenyum tanda setuju.
Aku pun membukakan pintunya kemudian.

Sebelum aku pergi, aku menanyakan di mana La Sfera karena aku akan bekerja di sana.
Aku sangat terkejut melihat tulisan La Sfera di balik pintu yang baru saja kubuka.
"Lalu, apa kau adalah koki... disini?" aku bertanya. Aku masih terkejut.

Bukannya menjawab pertanyaanku, ia justru memanggilku "Maknae", membuatku makin terkejut.
Ia lalu masuk ke dapur, meletakkan ikan mas pada gelas, lalu memperkenalkan dapur padaku. Ia juga meninggalkan bahasa formalnya, mengira bahwa aku adalah juniornya.

Aku tertawa dalam hati. Lucu sekali gadis ini, batinku.
Aku pun tidak berniat memberitahunya jabatanku yang sesungguhnya. Aku ingin menikmati permainannya, untuk saat ini.

Chef Choi's diary Prolog

Ini hanyalah karya kecilku sebagai seorang fans drama korea "Pasta". Aku sebenarnya menulis diary ini sebagai obat kerinduanku pada dramkor tersebut. : )
Mulanya aku cuma nge-share diary ini di grup FB. Tapi kupikir-pikir, lumayan juga kalau aku nge-share di Blog. Lebih jauh jangkauannya. *kaya iklan operator HP aja* : p
So, Happy reading! (oya, leave comments juga yaa )
 ***


Yoo Kyung: Buku apa ini, Chef? (mengambil sebuah buku di samping tempat tidur Chef)
Chef: Jangan dilihat! (Chef merebut buku itu dari tangan ikan mas). Ini diary-ku.
Yoo Kyung: Tak kusangka ternyata Chef punya diary.... Apa diary itu berisi resep-resep makanan juga, seperti yang dulu pernah Chef berikan padaku?
Chef: Tentu saja tidak. Kalau berisi resep, aku justru akan memberikannya padamu lagi, bukannya merahasiakannya.
(Yoo Kyung mengangguk-angguk)
Yoo Kyung: Berarti isinya seperti diary-diary biasa?
Chef: Tentu saja tidak.
Yoo Kyung: Lalu, apa spesialnya?
Chef: Spesialnya karena diary ini meceritakan kembali kisah kita.
Yoo Kyung: Benarkah, Chef?
(Chef tersenyum)
Yoo Kyung: Chef...
Chef: Iya, Ikan Mas..
Yoo Kyung: Ijinkan aku melihat diarymu.
Chef: Tidak kuijinkan.
Yoo Kyung: Chef... (sambil menggoyang-goyangkan bahu Chef)
Chef: Apa lagi, Ikan Mas?
Yoo Kyung: Diary... Aku ingin melihatnya... Bagaimanapun ini kisah kita, kan? Aku ingin mengingat-ingatnya lagi...
Chef: Kau belum pernah pacaran denganku ya?
Yoo Kyung: Tuh kan.... Chef malah mulai lagi...
(Chef tertawa)
Yoo Kyung: Ya sudah... Aku pergi saja!
Chef: Tunggu ikan mas! (mencekal tangan Yoo Kyung). Aku kan hanya bercanda.
Yoo Kyung: Jadi?
Chef: Kau boleh melihat isi diary ini, Ikan Mas... Asal jangan pergi... Aku bisa mati kalau kau pergi... (menyodorkan diary-nya pada Yoo Kyung)
Yoo Kyung: (Mengambil diary-nya). Ya, Chef. Aku tak akan pergi. Aku akan setia di sini sambil membaca diary Chef ini.
Chef: terima kasih, Ikan Mas-ku.
^^

Friday, December 9, 2011

Sag mir, dass du mich liebst. -- Katakan padaku bahwa kau mencintaiku

Kau benar-benar pria yang jenius. Kau pintar sekali membuatku gelisah. Kau selalu mengerti bagaimana membuatku gundah. Kau sangat mahir menembus otakku dan membuatku memikirkanmu sepanjang hari.

Tahukah kamu bagaimana sedihnya aku saat kau meninggalkanku? Kau pergi jauh tanpa mengatakan apapun padaku. Kau tak pernah sesekali mencoba untuk menghubungiku. Kau meninggalkanku dalam sebuah kegalauan.

Tahukah kamu betapa aku menginginkanmu? Aku ingin menjadi bagian dalam hidupmu. Menjadi air di saat kau haus, menjadi obat bius saat kau kesakitan, dan menjadi saputangan yang bisa menghapus airmata sedihmu.

Aku tak keberatan meruntuhkan harga diriku. Aku rela mengatakan rasa terpendam ini lebih dulu. Tahukah kamu bagaimana perjuanganku untuk mendapatkan alamatmu yang baru? Ke sanalah aku telah mengirimkanmu berpuluh-puluh surat tentang perasaanku. Aku juga telah mengirimkanmu SMS dan email tiap hari yang isinya sama (bahwa aku mencintaimu) -- yang belum pernah satu pun kau balas.

Tak tahukah kau bagaimana kekecewaanku ketika surat yang datang ternyata bukan darimu? Saat ponselku berdering dan yang masuk bukanlah SMS balasanmu? Dan saat aku membuka email, hanya ada spam yang selalu memenuhi inbox-ku?

Apakah kau benar-benar sudah tidak ingin bersamaku? Apa kau sudah bosan menjalin hubungan denganku? Aku benci berpikir bahwa kau seperti anak kecil yang sangat menyayangi mainan barunya, tetapi meninggalkannya saat ia sudah bosan. Aku benci diriku sendiri karena masih mencintai pria sepertimu.

Berilah aku satu kalimat saja. Beri tahu aku bahwa kau juga mencintaiku. Maka aku akan menunggumu. Menunggumu kembali ke sisiku dan menghapus pikiran buruk tentangmu.
Atau beri tahu aku bahwa kau tidak merasakan cinta seperti yang kurasakan. Aku akan menghargai kata-kata dan perasaanmu. Tapi, jangan lupa bahwa München dan Leipzig telah menjadi saksi bisu tumbuhnya kenangan indah kita. Kenangan ketika aku berada dalam dekapanmu dan melihat binar-binar cinta di bola matamu. Kau tak bisa memungkiri hal itu.

Also, sag mir dass du mich liebst
.