Tuesday, December 27, 2011
Dear diary, masih bolehkah aku berharap?
Dear Diary,
Kini aku sudah tak perlu mengecek e-mail setiap waktu.
Pun mengecek SMS dan kotak surat di depan rumah.
Semua sudah jelas.
Aku harus berterima kasih karena dia sudah menghapuskan kegalauanku selama ini.
Dan juga karena dia telah memberitahuku tentang keadaan yang sebenarnya.
Walaupun semua ini menyakitkan.
Aku mencoba tetap tersenyum saat mendengar berita yang tiba-tiba itu.
Aku menyayangkan kenapa kabar itu tidak datang di waktu aku sendiri.
Sehingga aku tak perlu memasang senyum yang melelahkan ini.
Dua jam.
Waktu yang sangat lama untuk berpura-pura tegar di hadapan semua orang.
Aku lelah.
Aku ingin sekali menumpahkan air mata ini dan menagis sepuasnya.
Aku berusaha menghibur diriku.
Bahwa aku sudah memberikan semua yang aku bisa.
Bahwa Tuhan akan memberiku yang lebih baik dari ini.
Tapi mengapa saat aku menghibur diriku sendiri, aku membayangkan sesuatu yang hampir mustahil?
Aku membayangkan jika ini hanyalah akal-akalannya sebelum memberitahu kabar yang sebenarnya -- yang aku harapkan.
Aku sudah gila, pikirku.
Aku tahu hidup ini tak seindah dongeng.
Dan mungkin di hidupku, aku bukan pemeran utamanya.
Aku bukan Cinderela.
Tapi serakakah aku jika ingin menjadi seperti Putri Cantik itu?
Diary, sekarang perasaanku telah membaik setelah bercerita padamu.
Tapi aku punya sesuatu yang aku ingin tahu jawabannya:
Masih bolehkah aku berharap -- ditengah keputusasaan ini -- agar takdir kembali di sisiku?
Labels:
Fiksi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment