Tuesday, December 27, 2011
Dear diary, masih bolehkah aku berharap?
Dear Diary,
Kini aku sudah tak perlu mengecek e-mail setiap waktu.
Pun mengecek SMS dan kotak surat di depan rumah.
Semua sudah jelas.
Aku harus berterima kasih karena dia sudah menghapuskan kegalauanku selama ini.
Dan juga karena dia telah memberitahuku tentang keadaan yang sebenarnya.
Walaupun semua ini menyakitkan.
Aku mencoba tetap tersenyum saat mendengar berita yang tiba-tiba itu.
Aku menyayangkan kenapa kabar itu tidak datang di waktu aku sendiri.
Sehingga aku tak perlu memasang senyum yang melelahkan ini.
Dua jam.
Waktu yang sangat lama untuk berpura-pura tegar di hadapan semua orang.
Aku lelah.
Aku ingin sekali menumpahkan air mata ini dan menagis sepuasnya.
Aku berusaha menghibur diriku.
Bahwa aku sudah memberikan semua yang aku bisa.
Bahwa Tuhan akan memberiku yang lebih baik dari ini.
Tapi mengapa saat aku menghibur diriku sendiri, aku membayangkan sesuatu yang hampir mustahil?
Aku membayangkan jika ini hanyalah akal-akalannya sebelum memberitahu kabar yang sebenarnya -- yang aku harapkan.
Aku sudah gila, pikirku.
Aku tahu hidup ini tak seindah dongeng.
Dan mungkin di hidupku, aku bukan pemeran utamanya.
Aku bukan Cinderela.
Tapi serakakah aku jika ingin menjadi seperti Putri Cantik itu?
Diary, sekarang perasaanku telah membaik setelah bercerita padamu.
Tapi aku punya sesuatu yang aku ingin tahu jawabannya:
Masih bolehkah aku berharap -- ditengah keputusasaan ini -- agar takdir kembali di sisiku?
Thursday, December 15, 2011
Sebuah cerita tentang harapan
"Harapan itu kecil. Lebih baik kamu jangan terlalu berharap."
Kata-kata darimu mengguncang tubuhku. Kelopak mataku hampir tidak sanggup membendung bulir-bulir air yang makin lama makin menumpuk. Nafasku tercekat. Rasanya oksigen menjadi begitu sedikit. Kakiku bergetar lemas. Aku benar-benar kecewa.
Tak bolehkah aku berharap? Aku tahu kesempatan ini kecil. Sangat kecil malah. Tapi aku sangat ingin berharap. Aku ingin optimis. Tapi di lain sisi, aku tidak siap kalau harus menerima kenyataan yang berbeda dengan keinginanku.
Berbagai pikiran berkecamuk dalam pikiranku. Kenangan-kenangan akan harapan selalu terbersit dalam benakku.
Aku ingat kau pernah menyuruhku untuk optimis dan tetap fokus dalam usahaku. Kau menyuruhku untuk tidak melihat kemungkinan-kemungkinan buruk yang akan kuhadapi. Kau selalu meyakinkanku bahwa semua akan baik-baik saja setelah aku mengerahkan semua usahaku.
Aku masih ingat saat kau berkata, "Aku tahu, kamu pasti bisa." Kau selalu membuatku nyaman dengan kata-katamu itu. Kau tidak memberitahuku kenyataan yang sebenarnya. Kenyataan bahwa ternyata harapan ini tak sebesar yang dulu kau ucapkan.
Kenapa baru sekarang? Kenapa kau baru memberitahuku bahwa kesempatannya begitu kecil, setelah aku melakukan semuanya? Aku begitu sakit hati.
Aku takut aku tidak bisa berhasil. Ya, aku takut gagal. Aku takut usahaku beberapa hari itu sia-sia. Aku sangat menginginkannya. Sangat menginginkannya sampai-sampai aku tidak memikirkan kemungkinan aku gagal.
Aku tahu kau menyuapiku dengan harapan-harapan itu agar aku bisa melakukan usaha maksimalku. Tapi sadarkah kau, bahwa secara tidak langsung kau bisa membuatku gila jika harapan itu tak terpenuhi?
Aku tidak bisa menyalahkanmu atas tindakanmu dulu. Tapi mengapa sekarang kau malah berkata sebaliknya? Mengatakan bahwa aku jangan terlalu berharap, karena peluangnya kecil.
Peluang, peluang, peluang. Itulah yang memenuhi benakku. Kenapa tidak ada peluang yang 100%? Peluang yang tak akan membuatku cemas dan gelisah seperti ini? Aku menyadari pertanyaan bodohku. Pertanyaan yang aku sendiri tahu jawabannya: karena ini hidup.
Mungkin orang-orang berpikir aku ini sudah gila tentang segala keoptimisanku. Aku bisa membayangkan orang-orang memasang muka kasihan kepadaku, kepada gadis yang tersiksa karena keoptimisannya sendiri. Aku tahu aku egois: tidak mau menerima apa yang berlawanan dengan keinginanku. Tapi apa kau bisa menganggapku egois setelah sekian lama aku hanya duduk diam dan bersabar sampai ada secercah harapan datang? Tak tahukah kau bahwa menunggu itu sangat menjemukan? Aku sudah hampir menangis saat aku membayangkan diriku gagal dan harus mulai dari awal: menunggu lagi.
Apakah aku salah kalau aku begitu optimis seperti ini? Apa aku salah jika aku sangat menginginkannya? Hampir semua orang di dekatku sudah memilikinya. Apakah aku berdosa jika aku berharap bisa memilikinya juga? Memilikinya dan membuktikan apa yang selama ini hanya bisa kudengar dari cerita-cerita mereka?
Tiba-tiba, aku merasakan tubuhku tertarik dalam dekapanmu. Hangat tubuhmu membuatku yakin, bukan yakin bahwa aku akan berhasil, tetapi yakin bahwa semua akan baik-baik saja walaupun aku gagal. Tubuhku menjadi lebih baik -- walaupun bendungan air mataku bobol. Aku menangis dalam pelukanmu. Namun, tangisan ini bukanlah tangisan sedih akan harapan yang memang kecil, melainkan tangisan lega karena aku tahu kau akan tetap mencintaiku, apapun hasilnya. =' )
Wednesday, December 14, 2011
Chef Choi's diary eps. 2 part 1
Lampu berubah menjadi merah. Mobil-mobil berjalan di sekitar kami -- aku dan Ikan Mas -- tapi kami tak peduli.
Ikan Mas bertanya kepadaku apakah aku mengajaknya berkencan karena merasa bersalah telah memecatnya. Aku menjawabnya dengan mudah, "Aku sama sekali tidak menyesal". Lalu aku menjelaskannya, "Tidak ada wanita di dapurku. Kau tidak dapat bekerja di dapurku."
Lampu berubah menjadi hijau lagi. Rasanya aku ingin sekali menggandeng tangannya, tetapi dia menyingkirkan tanganku dan entah kenapa karenanya aku jadi merasa begitu kecewa.
Rasanya, mulutku tidak terkoordinasi baik dengan hatiku. Aku justru berkata padanya untuk melakukan saja semaunya dan aku tidak peduli dengan wanita yang tidak menyukaiku.
Setelah aku mengatakannya, aku berjalan pergi tanpa menoleh. Aku sudah tidak ingin mendengar kata-kata darinya.
***
Paginya, aku sampai di La Sfera dengan mood yang bagus.
Aku masuk ke dapur aku memandangi ikan mas -- secara denotatif -- dan berbicara dengan mereka (aku tidak peduli kau akan menganggapku gila atau apa).
Setelah meminum kopi sejenak di ruanganku, aku beranjak ke loker. Aku tertarik untuk melepas nama-nama wanita dari loker-loker itu. Sesampainya di locker milik Ikan Mas, aku membentuk tanganku menjadi seperti pistol, dan "Puufh~," aku menembaknya sebelum melepas namanya.
Aku kaget sekali menemukan seseorang dalam lokerku. Dan itu adalah Ikan Mas! Dia tertidur dengan bau minuman keras.
Ikan Mas terbangun. Kami saling menatap kebingungan.
Ikan Mas: Kau pagi sekali.
Aku: Bukankah kau lebih pagi?
Lalu Ikan Mas menjelaskan bahwa dirinya tidak pulang ke rumah. Katanya, jika dia pulang, dia tidak punya keberanian untuk kembali.
Dan dia menggumam bahwa lokerku nyaman, besar, enak, dan hangat -- berkebalikan denganku.
Ia juga berkata, dia tidak akan berhenti dan akan terus bekerja di La Sfera. Ia sudah bekerja di sana selama tiga tahun sebelum akhirnya punya kesempatan untuk memasak.
Aku lalu memberitahunya bahwa ia benar-benar seperti ikan mas sebelum aku mengusirnya dari lokerku.
Tapi kakinya malah kram, membuatku terpaksa memijatnya. Aku masih ingat kata-kata yang ia ucapkan dengan memelas, "Aku ingin membuat pasta."
Sejujurnya, aku sedikit tersentuh dengan kata-katanya itu. Tetapi yang keluar dari mulutku hanyalah kata-kata yang kasar. Aku mengusirnya dari lokerku.
***
Aku lihat Ikan Mas tetap ngotot ingin bekerja. Ia berada bersama para koki yang lain saat meeting staf. Aku tidak mengusirnya, tetapi juga tidak menganggapnya ada. Betapa mengganggunya dia!
Aku mengubah menu hari ini. Tapi aku bisa merasakan para koki itu tidak bekerja dengan senang. Akhirnya, sesi makan siang kacau. Aku tak bisa mengendalikan kesabaranku dan berteriak sendiri. Sungguh gila aku saat itu!
Tak lama kemudian, aku mendapat ide bagus. Aku keluar ke ruang makan dan menghampiri tiga pemuda yang telah lama kukenal. Aku menyuruh mereka untuk menggantikan posisi ke-3 wanita yang telah kupecat.
Ikan Mas bertanya kepadaku apakah aku mengajaknya berkencan karena merasa bersalah telah memecatnya. Aku menjawabnya dengan mudah, "Aku sama sekali tidak menyesal". Lalu aku menjelaskannya, "Tidak ada wanita di dapurku. Kau tidak dapat bekerja di dapurku."
Lampu berubah menjadi hijau lagi. Rasanya aku ingin sekali menggandeng tangannya, tetapi dia menyingkirkan tanganku dan entah kenapa karenanya aku jadi merasa begitu kecewa.
Rasanya, mulutku tidak terkoordinasi baik dengan hatiku. Aku justru berkata padanya untuk melakukan saja semaunya dan aku tidak peduli dengan wanita yang tidak menyukaiku.
Setelah aku mengatakannya, aku berjalan pergi tanpa menoleh. Aku sudah tidak ingin mendengar kata-kata darinya.
***
Paginya, aku sampai di La Sfera dengan mood yang bagus.
Aku masuk ke dapur aku memandangi ikan mas -- secara denotatif -- dan berbicara dengan mereka (aku tidak peduli kau akan menganggapku gila atau apa).
Setelah meminum kopi sejenak di ruanganku, aku beranjak ke loker. Aku tertarik untuk melepas nama-nama wanita dari loker-loker itu. Sesampainya di locker milik Ikan Mas, aku membentuk tanganku menjadi seperti pistol, dan "Puufh~," aku menembaknya sebelum melepas namanya.
Aku kaget sekali menemukan seseorang dalam lokerku. Dan itu adalah Ikan Mas! Dia tertidur dengan bau minuman keras.
Ikan Mas terbangun. Kami saling menatap kebingungan.
Ikan Mas: Kau pagi sekali.
Aku: Bukankah kau lebih pagi?
Lalu Ikan Mas menjelaskan bahwa dirinya tidak pulang ke rumah. Katanya, jika dia pulang, dia tidak punya keberanian untuk kembali.
Dan dia menggumam bahwa lokerku nyaman, besar, enak, dan hangat -- berkebalikan denganku.
Ia juga berkata, dia tidak akan berhenti dan akan terus bekerja di La Sfera. Ia sudah bekerja di sana selama tiga tahun sebelum akhirnya punya kesempatan untuk memasak.
Aku lalu memberitahunya bahwa ia benar-benar seperti ikan mas sebelum aku mengusirnya dari lokerku.
Tapi kakinya malah kram, membuatku terpaksa memijatnya. Aku masih ingat kata-kata yang ia ucapkan dengan memelas, "Aku ingin membuat pasta."
Sejujurnya, aku sedikit tersentuh dengan kata-katanya itu. Tetapi yang keluar dari mulutku hanyalah kata-kata yang kasar. Aku mengusirnya dari lokerku.
***
Aku lihat Ikan Mas tetap ngotot ingin bekerja. Ia berada bersama para koki yang lain saat meeting staf. Aku tidak mengusirnya, tetapi juga tidak menganggapnya ada. Betapa mengganggunya dia!
Aku mengubah menu hari ini. Tapi aku bisa merasakan para koki itu tidak bekerja dengan senang. Akhirnya, sesi makan siang kacau. Aku tak bisa mengendalikan kesabaranku dan berteriak sendiri. Sungguh gila aku saat itu!
Tak lama kemudian, aku mendapat ide bagus. Aku keluar ke ruang makan dan menghampiri tiga pemuda yang telah lama kukenal. Aku menyuruh mereka untuk menggantikan posisi ke-3 wanita yang telah kupecat.
Saturday, December 10, 2011
Chef Choi's diary eps. 1 part 3
Pintu lift terbuka.
Lagi-lagi si Gadis Ikan Mas! *entah kenapa aku ingin menamainya Ikan Mas*
Rupanya dia juga tinggal di gedung ini, aku menyimpulkan.
Aku tak menanggapi ketika ia berkata masih merasa malu dan minta maaf karena mengira aku sebagai asisten barunya.
Aku justru mengingatkan tentang kencan malam ini padanya, kemudian aku langsung keluar.
Aku tak sabar menunggu malam ini.
Hari ini akan kubuat berbeda dengan kemarin.
Akulah yang berkuasa di dapur sekarang.
Sekarang akan kutunjukkan diriku yang sebenarnya.
Benar-benar payah!
Makan mereka seperti sampah.
Tak layak untuk disajikan, apalagi di restoran ternama seperti La Sfera.
"Prang!"
Kulempar makanan sampah itu ke lantai.
Mereka terlihat kaget, namun aku tak peduli.
Dan aku terus memberi mereka "kejutan-kejutan" yang lainnya.
Bagus. Keempat wanita sudah melakukan kesalahan. Termasuk Ikan Mas.
Ia tak sengaja membuat hujan minyak panas.
Namun entah kenapa, tubuhku langsung bergerak refleks untuk melindunginya dari minyak panas itu.
Setelah jam makan malam, aku menegur mereka, para gadis yang seharian telah membuat berbagai kesalahan.
Mereka sukses tercengang-cengang tidak percaya saat aku memecat mereka satu per satu.
Aku puas.
Tidak ada lagi wanita di dapurku.
"Bagaimanapun, kau tetap akan memecat wanita, bukan?" tuduh Ikan Mas saat kami bertemu di jalan malam harinya.
Memang benar. Aku merencanakannya dari awal. Dan ia sudah menyadarinya.
Oleh karena itu, aku tidak ingin menjawab.
Aku hanya bertanya, "Kau belum pernah berkencan dengan pria sebelumnya, kan?"
Aku lalu mendekat dan berkata padanya, "Ayo kita berkencan."
Entah kenapa aku merasa bahwa ia sangat menarik.
Chef Choi's diary eps. 1 part 2
Aku berjalan masuk dengan percaya diri.
Gadis yang kutemui kemarin memanggilku dan menyuruhku ikut berbaris.
Gadis yang kutemui kemarin memanggilku dan menyuruhku ikut berbaris.
Aku tak menanggapinya.
Aku menjabat tangan Presiden, lalu berjalan menuju ke depan barisan.
Lalu aku memperkenalkan diriku.
Aku kembali mengamati gadis itu.
Aku menjabat tangan Presiden, lalu berjalan menuju ke depan barisan.
Lalu aku memperkenalkan diriku.
Aku kembali mengamati gadis itu.
Ekspresi bingungnya membuatku tertawa dalam hati.
Cepat atau lambat, Ia harus menahan malu atas perbuatannya kemarin.
Cepat atau lambat, Ia harus menahan malu atas perbuatannya kemarin.
Aku menyalami para staf satu per satu.
Kubiarkan mereka terpesona padaku, sebelum kutunjukkan sisi lainku.
sampai akhirnya aku berjalan ke barisan terbelakang, tempat si gadis berdiri.
Kubiarkan mereka terpesona padaku, sebelum kutunjukkan sisi lainku.
sampai akhirnya aku berjalan ke barisan terbelakang, tempat si gadis berdiri.
Seo Yoo Kyung. Ia memperkenalkan dirinya -- tentu saja -- dengan malu-malu.
Aku tersenyum puas melihat tingkahnya.
Aku tersenyum puas melihat tingkahnya.
Di dapur, aku menyuruh para koki menyiapkan makan seperti biasa.
Aku mundur dengan tenang, dan melihat cara mereka bekerja.
Aku mundur dengan tenang, dan melihat cara mereka bekerja.
Si gadis -- Yoo Kyung maksudku -- tetap terlihat profesional, walaupun kami pernah bertemu sebelumnya.
Namun, cara memasaknya masih kacau balau.
Melihatnya menggoyang wajan dengan salah, aku lantas memberikannya contoh sebentar.
Tidak perlu lama, karena ia akan segera keluar dari dapur.
"Ini bukan dapurku. Dapurku baru akan mulai," kataku pada manajer saat restoran telah tutup.
Namun, cara memasaknya masih kacau balau.
Melihatnya menggoyang wajan dengan salah, aku lantas memberikannya contoh sebentar.
Tidak perlu lama, karena ia akan segera keluar dari dapur.
"Ini bukan dapurku. Dapurku baru akan mulai," kataku pada manajer saat restoran telah tutup.
Chef Choi's diary eps. 1 part 1
"Bruk"
Kulihat seorang gadis jatuh karena ditabrak seorang pria yang sedang terburu-buru.
Aku lantas menghampiri gadis itu untuk menolongnya.
Di tengah zebra cross, kulihat gadis itu sedang berusaha memungut ikan mas yang terlihat menggeliat sengsara.
Aku menyuruh gadis itu untuk merapatkan kedua tangannya. Lalu dengan cepat aku menaruh ikan mas sekarat itu di tangannya, kemudian menuang air ke dalamnya.
Kulihat lampu hampir berubah. Kusuruh gadis itu berlari ke trotoar. Aku mengikutinya sambil membawakan barang belanjaannya.
Untunglah kami tepat waktu.
Gadis itu berterima kasih padaku. Lalu kami saling mengucapkan selamat tinggal.
Eits!
Aku langsung tersadar. Bagaimana dengan belanjaan gadis itu?
Akhirnya aku bersedia membawakan belanjaan itu sampai tujuan si gadis.
Sesekali aku menuang air ke tangannya. Untuk mengusir kecanggungan diantara kami, aku melontarkan fakta lucu tentang ikan mas, yang hanya punya ingatan dua detik.
Sesampainya di tempat tujuan si gadis, entah kenapa rasanya aku enggan berpisah. Aku merasa kami saling tertarik. Aneh sekali.
Saat aku hendak pergi, tiba-tiba gadis itu ingat bahwa ia tidak dapat membuka pintu. Ia lalu memintaku untuk membukakan pintu.
Sungguh sulit menemukan kunci yang dimaksud gadis itu. Kuncinya tidak ada di dalam tas. Ia lantas menyuruhku mengambil kuncinya di kantong jaketnya.
"Apa kau sengaja berkata kau tidak ingat dimana kau meletakkan kuncimu agar aku mencari kemana-mana?" candaku pada gadis itu.
Beberapa saat kemudian, akhirnya aku menemukan kunci itu. Aku tidak langsung membukakan pintunya. AKu memikirkan sesuatu.
"Apa nanti malam kau bebas?" aku bertanya dengan sedikit cengiran. Kulihat gadis itu terperanjat. Ekspresinya sangat lucu, membuatku tertawa.
"Mengapa ragu-ragu? Kau seharusnya menolak jika diajak untuk pertama kalinya," kataku lagi.
Ia berkata bahwa ia bebas setelah jam 11 malam. Aku pun menjawab, "Pria dan wanita bertemu dalam kencan pertama mereka di waktu seperti itu hanya ada satu hal yang bisa dilakukan. Tidur bersama. Itu pasti bukan maksudmu, tapi aku senang dengan pikiran itu."
"Aku baru selesai kerja jam segitu. Aku hanya berpikir mau membelikan bir dan berterima kasih," katanya meluruskan.
"Kau bisa meletakkan ikan itu sebentar dan mencari kuncinya sendiri, tanpa membuatku merabanya kesana-kemari," sindirku kemudian
"Baik, ayo ketemu jam 11 malam. Di tempat yang sama, di jalan. Tidak malam ini, tidak besok pagi, tapi lusa. Aku pura-pura sudah ditolak malam ini dan besok pagi, demi harga dirimu, ok?" ajakku -- maksudku paksaku.
Ia tersenyum tanda setuju.
Aku pun membukakan pintunya kemudian.
Sebelum aku pergi, aku menanyakan di mana La Sfera karena aku akan bekerja di sana.
Aku sangat terkejut melihat tulisan La Sfera di balik pintu yang baru saja kubuka.
"Lalu, apa kau adalah koki... disini?" aku bertanya. Aku masih terkejut.
Bukannya menjawab pertanyaanku, ia justru memanggilku "Maknae", membuatku makin terkejut.
Ia lalu masuk ke dapur, meletakkan ikan mas pada gelas, lalu memperkenalkan dapur padaku. Ia juga meninggalkan bahasa formalnya, mengira bahwa aku adalah juniornya.
Aku tertawa dalam hati. Lucu sekali gadis ini, batinku.
Aku pun tidak berniat memberitahunya jabatanku yang sesungguhnya. Aku ingin menikmati permainannya, untuk saat ini.
Chef Choi's diary Prolog
Ini hanyalah karya kecilku sebagai seorang fans drama korea "Pasta". Aku sebenarnya menulis diary ini sebagai obat kerinduanku pada dramkor tersebut. : )
Mulanya aku cuma nge-share diary ini di grup FB. Tapi kupikir-pikir, lumayan juga kalau aku nge-share di Blog. Lebih jauh jangkauannya. *kaya iklan operator HP aja* : p
So, Happy reading! (oya, leave comments juga yaa )
***
Yoo Kyung: Buku apa ini, Chef? (mengambil sebuah buku di samping tempat tidur Chef)
Chef: Jangan dilihat! (Chef merebut buku itu dari tangan ikan mas). Ini diary-ku.
Yoo Kyung: Tak kusangka ternyata Chef punya diary.... Apa diary itu berisi resep-resep makanan juga, seperti yang dulu pernah Chef berikan padaku?
Chef: Tentu saja tidak. Kalau berisi resep, aku justru akan memberikannya padamu lagi, bukannya merahasiakannya.
(Yoo Kyung mengangguk-angguk)
Yoo Kyung: Berarti isinya seperti diary-diary biasa?
Chef: Tentu saja tidak.
Yoo Kyung: Lalu, apa spesialnya?
Chef: Spesialnya karena diary ini meceritakan kembali kisah kita.
Yoo Kyung: Benarkah, Chef?
(Chef tersenyum)
Yoo Kyung: Chef...
Chef: Iya, Ikan Mas..
Yoo Kyung: Ijinkan aku melihat diarymu.
Chef: Tidak kuijinkan.
Yoo Kyung: Chef... (sambil menggoyang-goyangkan bahu Chef)
Chef: Apa lagi, Ikan Mas?
Yoo Kyung: Diary... Aku ingin melihatnya... Bagaimanapun ini kisah kita, kan? Aku ingin mengingat-ingatnya lagi...
Chef: Kau belum pernah pacaran denganku ya?
Yoo Kyung: Tuh kan.... Chef malah mulai lagi...
(Chef tertawa)
Yoo Kyung: Ya sudah... Aku pergi saja!
Chef: Tunggu ikan mas! (mencekal tangan Yoo Kyung). Aku kan hanya bercanda.
Yoo Kyung: Jadi?
Chef: Kau boleh melihat isi diary ini, Ikan Mas... Asal jangan pergi... Aku bisa mati kalau kau pergi... (menyodorkan diary-nya pada Yoo Kyung)
Yoo Kyung: (Mengambil diary-nya). Ya, Chef. Aku tak akan pergi. Aku akan setia di sini sambil membaca diary Chef ini.
Chef: terima kasih, Ikan Mas-ku.
^^
Mulanya aku cuma nge-share diary ini di grup FB. Tapi kupikir-pikir, lumayan juga kalau aku nge-share di Blog. Lebih jauh jangkauannya. *kaya iklan operator HP aja* : p
So, Happy reading! (oya, leave comments juga yaa )
***
Yoo Kyung: Buku apa ini, Chef? (mengambil sebuah buku di samping tempat tidur Chef)
Chef: Jangan dilihat! (Chef merebut buku itu dari tangan ikan mas). Ini diary-ku.
Yoo Kyung: Tak kusangka ternyata Chef punya diary.... Apa diary itu berisi resep-resep makanan juga, seperti yang dulu pernah Chef berikan padaku?
Chef: Tentu saja tidak. Kalau berisi resep, aku justru akan memberikannya padamu lagi, bukannya merahasiakannya.
(Yoo Kyung mengangguk-angguk)
Yoo Kyung: Berarti isinya seperti diary-diary biasa?
Chef: Tentu saja tidak.
Yoo Kyung: Lalu, apa spesialnya?
Chef: Spesialnya karena diary ini meceritakan kembali kisah kita.
Yoo Kyung: Benarkah, Chef?
(Chef tersenyum)
Yoo Kyung: Chef...
Chef: Iya, Ikan Mas..
Yoo Kyung: Ijinkan aku melihat diarymu.
Chef: Tidak kuijinkan.
Yoo Kyung: Chef... (sambil menggoyang-goyangkan bahu Chef)
Chef: Apa lagi, Ikan Mas?
Yoo Kyung: Diary... Aku ingin melihatnya... Bagaimanapun ini kisah kita, kan? Aku ingin mengingat-ingatnya lagi...
Chef: Kau belum pernah pacaran denganku ya?
Yoo Kyung: Tuh kan.... Chef malah mulai lagi...
(Chef tertawa)
Yoo Kyung: Ya sudah... Aku pergi saja!
Chef: Tunggu ikan mas! (mencekal tangan Yoo Kyung). Aku kan hanya bercanda.
Yoo Kyung: Jadi?
Chef: Kau boleh melihat isi diary ini, Ikan Mas... Asal jangan pergi... Aku bisa mati kalau kau pergi... (menyodorkan diary-nya pada Yoo Kyung)
Yoo Kyung: (Mengambil diary-nya). Ya, Chef. Aku tak akan pergi. Aku akan setia di sini sambil membaca diary Chef ini.
Chef: terima kasih, Ikan Mas-ku.
^^
Friday, December 9, 2011
Sag mir, dass du mich liebst. -- Katakan padaku bahwa kau mencintaiku
Kau benar-benar pria yang jenius. Kau pintar sekali membuatku gelisah. Kau selalu mengerti bagaimana membuatku gundah. Kau sangat mahir menembus otakku dan membuatku memikirkanmu sepanjang hari.
Tahukah kamu bagaimana sedihnya aku saat kau meninggalkanku? Kau pergi jauh tanpa mengatakan apapun padaku. Kau tak pernah sesekali mencoba untuk menghubungiku. Kau meninggalkanku dalam sebuah kegalauan.
Tahukah kamu betapa aku menginginkanmu? Aku ingin menjadi bagian dalam hidupmu. Menjadi air di saat kau haus, menjadi obat bius saat kau kesakitan, dan menjadi saputangan yang bisa menghapus airmata sedihmu.
Aku tak keberatan meruntuhkan harga diriku. Aku rela mengatakan rasa terpendam ini lebih dulu. Tahukah kamu bagaimana perjuanganku untuk mendapatkan alamatmu yang baru? Ke sanalah aku telah mengirimkanmu berpuluh-puluh surat tentang perasaanku. Aku juga telah mengirimkanmu SMS dan email tiap hari yang isinya sama (bahwa aku mencintaimu) -- yang belum pernah satu pun kau balas.
Tak tahukah kau bagaimana kekecewaanku ketika surat yang datang ternyata bukan darimu? Saat ponselku berdering dan yang masuk bukanlah SMS balasanmu? Dan saat aku membuka email, hanya ada spam yang selalu memenuhi inbox-ku?
Apakah kau benar-benar sudah tidak ingin bersamaku? Apa kau sudah bosan menjalin hubungan denganku? Aku benci berpikir bahwa kau seperti anak kecil yang sangat menyayangi mainan barunya, tetapi meninggalkannya saat ia sudah bosan. Aku benci diriku sendiri karena masih mencintai pria sepertimu.
Berilah aku satu kalimat saja. Beri tahu aku bahwa kau juga mencintaiku. Maka aku akan menunggumu. Menunggumu kembali ke sisiku dan menghapus pikiran buruk tentangmu.
Atau beri tahu aku bahwa kau tidak merasakan cinta seperti yang kurasakan. Aku akan menghargai kata-kata dan perasaanmu. Tapi, jangan lupa bahwa München dan Leipzig telah menjadi saksi bisu tumbuhnya kenangan indah kita. Kenangan ketika aku berada dalam dekapanmu dan melihat binar-binar cinta di bola matamu. Kau tak bisa memungkiri hal itu.
Also, sag mir dass du mich liebst.
Tahukah kamu bagaimana sedihnya aku saat kau meninggalkanku? Kau pergi jauh tanpa mengatakan apapun padaku. Kau tak pernah sesekali mencoba untuk menghubungiku. Kau meninggalkanku dalam sebuah kegalauan.
Tahukah kamu betapa aku menginginkanmu? Aku ingin menjadi bagian dalam hidupmu. Menjadi air di saat kau haus, menjadi obat bius saat kau kesakitan, dan menjadi saputangan yang bisa menghapus airmata sedihmu.
Aku tak keberatan meruntuhkan harga diriku. Aku rela mengatakan rasa terpendam ini lebih dulu. Tahukah kamu bagaimana perjuanganku untuk mendapatkan alamatmu yang baru? Ke sanalah aku telah mengirimkanmu berpuluh-puluh surat tentang perasaanku. Aku juga telah mengirimkanmu SMS dan email tiap hari yang isinya sama (bahwa aku mencintaimu) -- yang belum pernah satu pun kau balas.
Tak tahukah kau bagaimana kekecewaanku ketika surat yang datang ternyata bukan darimu? Saat ponselku berdering dan yang masuk bukanlah SMS balasanmu? Dan saat aku membuka email, hanya ada spam yang selalu memenuhi inbox-ku?
Apakah kau benar-benar sudah tidak ingin bersamaku? Apa kau sudah bosan menjalin hubungan denganku? Aku benci berpikir bahwa kau seperti anak kecil yang sangat menyayangi mainan barunya, tetapi meninggalkannya saat ia sudah bosan. Aku benci diriku sendiri karena masih mencintai pria sepertimu.
Berilah aku satu kalimat saja. Beri tahu aku bahwa kau juga mencintaiku. Maka aku akan menunggumu. Menunggumu kembali ke sisiku dan menghapus pikiran buruk tentangmu.
Atau beri tahu aku bahwa kau tidak merasakan cinta seperti yang kurasakan. Aku akan menghargai kata-kata dan perasaanmu. Tapi, jangan lupa bahwa München dan Leipzig telah menjadi saksi bisu tumbuhnya kenangan indah kita. Kenangan ketika aku berada dalam dekapanmu dan melihat binar-binar cinta di bola matamu. Kau tak bisa memungkiri hal itu.
Also, sag mir dass du mich liebst.
Saturday, November 5, 2011
Refrain, by Winna Efendi
Refrain: novel karya Winna Efendi yang pertama kali aku baca. Jujur deh, dulu, aku nggak kenal penulis dengan nama "Winna Efendi" (mungkin karena dulu aku cuma baca teenlit terbitan gramed) sebelum temenku "pamer" novel Refrain ke sekolah.
Pertama-tama liat novel ini, yang kulihat adalah covernya *ya iya lah*. Kalau menurutku, covernya unik banget: ada amplopnya! Dan ternyata di dalam amplop ada tulisan "It's always been you". Keren banget kan....
Sinopsisnya gak kalah keren sama covernya lho... Begini sinopsisnya:
Tidak ada persahabatan yang sempurna di dunia ini, yang ada hanya orang-orang yang berusaha sebisa mungkin untuk mempertahankannya.Kalau bicara tentang isi, menurutku --dan beberapa temanku yang sudah membaca buku ini-- ceritanya sangat sederhana. Tentang cinta yang tumbuh ke sahabat kecil. Kalau mau tahu isi selengkapnya, bisa baca sendiri novelnya... : D
**
Ini bisa jadi sebuah kisah cinta biasa. Tentang sahabat sejak kecil, yang kemudian jatuh cinta kepada sahabatnya sendiri. Sayangnya, di setiap cinta harus ada yang terluka.
Ini barangkali hanya sebuah kisah cinta sederhana. Tentang tiga sahabat yang merasa saling memiliki meskipun diam-diam saling melukai.
Ini kisah tentang harapan yang hampir hilang. Sebuah kisah tentang cinta yang nyaris sempurna, kecuali rasa sakit karena persahabatan itu sendiri.
**
Tapi, walaupun sederhana --seperti yang tertulis di sinopsis "Ini bisa jadi sebuah kisah cinta biasa"-- kak Winna Effendi mampu menyajikannya dengan gaya menulis yang gak ada tandingannya. Ceritanya bisa begitu mengalir dan enak dibaca. Cocok banget buat kamu yang suka novel ringan.
Kekurangan novel ini? Hm... Apa ya? Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang~ *lho?*
Karena aku juga gak tahu kekurangannya apa.... : )
Dan yang terakhir, aku cuma mau bilang: abis baca novel ini, jangan kaget kalau kamu bakal pengen baca novelnya kak Winna yang lain. Hehe..
Tuesday, November 1, 2011
Bioloveculer #3 : I love you, more than I love biology
I love learning about glycolysis,
But I love learning about your gestures more.
I love imagining about the cell's activity,
But I love imagining about your daily activities more.
I love looking at the DNA's structure,
But I love looking at your eyes more.
I love remembering about the metabolism process,
But I love remembering about your sweet fragrance more.
I love molecular biology,
But I love you more.
Monday, October 31, 2011
Bioloveculer #2 : Broken Heart
I guest, Our love will lasts forever,
Even when we have been in the heaven.
But, my guess is incorrect.
Your another love enters our Love Cell.
And makes some Deletion Mutations
In our Faith Chromosomes.
Do you know how sad I am?
Because you had done the autolysis in our Love Cell
Before our Love Cell could be replicated.
However,
You have to know
Whenever you are
Wherever you go
I will always love you
Even though you have broken my heart... :' )
Saturday, October 29, 2011
God will give you the best!
Pernahkah kamu mengalami saat dimana hidup terasa begitu membingungkan?
Pernahkah kamu mengalami saat dimana hidup terasa penuh dengan ketidak adilan?
Pernahkah kamu mengalamu saat dimana hidup terasa menyedihkan dan memilukan?
Pernahkah kamu merasa bahwa kamu sudah berusaha keras, tetapi takdir tak memihak padamu?
Pernahkah kamu merasa bahwa kamu sudah yakin tentang keberhasilanmu, tetapi takdir berkata lain?
Begitu menyakitkan, bukan?
Apalagi kamu telah mencobanya berkali kali, namun tetap gagal juga.
Apakah rasa sakit itu membuatmu menangis?
Atau membuatmu memaki Tuhan karena dia tidak mengabulkan doamu?
Atau membuatmu rendah diri dan tak berani lagi menatap masa depan?
Atau membuatmu lebih memilih pesimis daripada optimis, karena optimis membuatmu 2x lebih sakit saat keinginanmu tak terkabul?
Tapi, sadarkah kamu?
Bahwa kegagalan bisa membuatmu menjadi lebih baik.
Bahwa kegagalan bisa membuatmu terpacu untuk lebih bekerja keras.
Bahwa kegagalan bisa membuat kemenanganmu kelak menjadi begitu menggembirakan.
Dan percayalah,
Walaupun takdir tak bisa ditebak, tetapi takdir akan berada di sisimu. Suatu saat nanti.
Lagi pula, setiap kali kamu gagal (saat sudah berusaha semaksimal mungkin) berarti Tuhan memindahkan kemenanganmu ke waktu yang lain.
Maka, optimislah bahwa Tuhan akan memberimu yang terbaik.
God Bless You :)
Pernahkah kamu mengalami saat dimana hidup terasa penuh dengan ketidak adilan?
Pernahkah kamu mengalamu saat dimana hidup terasa menyedihkan dan memilukan?
Pernahkah kamu merasa bahwa kamu sudah berusaha keras, tetapi takdir tak memihak padamu?
Pernahkah kamu merasa bahwa kamu sudah yakin tentang keberhasilanmu, tetapi takdir berkata lain?
Begitu menyakitkan, bukan?
Apalagi kamu telah mencobanya berkali kali, namun tetap gagal juga.
Apakah rasa sakit itu membuatmu menangis?
Atau membuatmu memaki Tuhan karena dia tidak mengabulkan doamu?
Atau membuatmu rendah diri dan tak berani lagi menatap masa depan?
Atau membuatmu lebih memilih pesimis daripada optimis, karena optimis membuatmu 2x lebih sakit saat keinginanmu tak terkabul?
Tapi, sadarkah kamu?
Bahwa kegagalan bisa membuatmu menjadi lebih baik.
Bahwa kegagalan bisa membuatmu terpacu untuk lebih bekerja keras.
Bahwa kegagalan bisa membuat kemenanganmu kelak menjadi begitu menggembirakan.
Dan percayalah,
Walaupun takdir tak bisa ditebak, tetapi takdir akan berada di sisimu. Suatu saat nanti.
Lagi pula, setiap kali kamu gagal (saat sudah berusaha semaksimal mungkin) berarti Tuhan memindahkan kemenanganmu ke waktu yang lain.
Maka, optimislah bahwa Tuhan akan memberimu yang terbaik.
"The darkest night is often the bridge to the brightest tomorrow" - Jonathan Lockwood
God Bless You :)
Tuesday, October 11, 2011
BioLovecular : Biomolecular lover's love words
Aku dan kamu...
Kita seperti basa purin dan pirimidin yang saling melengkapi
Membentuk untaian cinta yang lebih panjang daripada DNA dalam kromosom tubuh kita sendiri
Aku dan kamu...
Kita bersatu membentuk cinta yang bulat tak berujung
Seperti DNA sirkuler pada bakteri: plasmid
Aku dan kamu...
Tak ada intron dalam cinta kita
Semuanya ekson
Karena buah-buah cinta kita selalu bermakna
Tahukah kamu?
Bahwa kamu seperti Magnesium.
Eh tidak, maksudku kamu benar-benar Magnesium
Kamu adalah pusat cincin porifin dalam hijaunya klorofil cinta di hatiku.
with love,
Your Love
Saturday, September 17, 2011
Infinitely Yours - by Orizuka
Infinitely Yours, novel terbarunya kak Orizuka, akhirnya kudapatkan juga setelah penantian selama sebulanan. *yeaay!
Apa sih yang bikin novel ini menarik, kok sampai aku bela-belain bolak-balik gramed tiap hari cuma buat ngecek apa novel ini udah ada?
Jawabannya: karena covernya!
Mungkin jawabanku kaya jawaban anak SD yang milih makanan cuma gara-gara warna-warninya.
Tapi ya begitulah kurang lebihnya.
Pertama kali kulihat desain covernya di grup FB Orizuka Novels, aku langsung tertarik. Bukan cuma warna birunya yang bikin aku fell in love at the first sight, tapi juga gambar simpel seorang cowok yang lagi pegang balon sambil meluk ceweknya. Gambarnya itu simpel banget (kaya gambar anak tk). Ya kan? Tapi juga CHARMING banget! :D
Abis jatuh cinta sama covernya, eeeh, waktu liat sinopsisnya langsung mabuk cinta deh sama ini novel. (hiperbolis mode:on) :p
Kata-katanya indah banget. Dan meyakinkanku bahwa endingnya bakal happy (baca: gak ada tokoh yang mati). Sekedar intermezzo, aku agak males baca novel yang sad ending. Soalnya bikin nangis. hehe...
Begini sinopsisnya:
Novel bergenre romantic-comedy ini bercerita tentang seorang cewek energetik penggila Korea dan seorang pria dingin, kaku, dan selalu mementingkan logika daripada perasaan. Mereka kebetulan ikut dalam sebuah tour ke Korea dan saling jatuh cinta.
Tentunya, cerita ini tak cuma sekadar bertemu-lalu-jatuh-cinta-kemudian-jadian. Tapi juga tentang bagaimana jika perasaan dikaitkan dengan logika.
Penasaran tentang lanjutannya? Baca sendiri, dan nikmati romantisnya.
Untuk para penggemar K-POP, novel ini bagaikan kado spesial dari kak Ori. Ceritanya adalah tentang jalan-jalan di Korea. Tak lupa juga, bagian-bagian dari novel ini diberi judul lagu K-POP terkenal. Karya ke-13 Orizuka ini bakal membawamu pada tour romantisme Korea. Dan dijamin abis baca, kamu jadi makin pengin mengunjungi negara negeri romantis itu.
Kalau kamu bukan penggemar K-POP, janganlah khawatir. Novel ini tetap bisa dinikmati, sekalipun oleh pembaca non K-Poppers. Orizuka sukses membuat pembacanya ngakak guling-guling. Dan siap-siap aja buat kamu yang bukan K-Poppers kalau jadi jatuh cinta sama K-Pop. ^o^
Top deh buat kak Orizuka. Walaupun penerbitannya sempat tertunda, tapi isi dari novelnya bener-bener bisa ngobatin kekecewaan karena lama nunggu terbitnya.
FIVE STARS for Infinitely Yours!
Jjang!
Apa sih yang bikin novel ini menarik, kok sampai aku bela-belain bolak-balik gramed tiap hari cuma buat ngecek apa novel ini udah ada?
Jawabannya: karena covernya!
Mungkin jawabanku kaya jawaban anak SD yang milih makanan cuma gara-gara warna-warninya.
Tapi ya begitulah kurang lebihnya.
Pertama kali kulihat desain covernya di grup FB Orizuka Novels, aku langsung tertarik. Bukan cuma warna birunya yang bikin aku fell in love at the first sight, tapi juga gambar simpel seorang cowok yang lagi pegang balon sambil meluk ceweknya. Gambarnya itu simpel banget (kaya gambar anak tk). Ya kan? Tapi juga CHARMING banget! :D
Abis jatuh cinta sama covernya, eeeh, waktu liat sinopsisnya langsung mabuk cinta deh sama ini novel. (hiperbolis mode:on) :p
Kata-katanya indah banget. Dan meyakinkanku bahwa endingnya bakal happy (baca: gak ada tokoh yang mati). Sekedar intermezzo, aku agak males baca novel yang sad ending. Soalnya bikin nangis. hehe...
Begini sinopsisnya:
Orang bilang, pertemuan pertama selalu kebetulan.Tapi, bagaimana caramu menjelaskan pertemuan-pertemuan kita selanjutnya? Apakah Tuhan campur tangan di dalamnya?
Kita bukanlah dua garis yang tak sengaja bertabrakan.Sekeras apa pun usaha kita berdua, saling menjauhkan diri—dan menjauhkan hati—pada akhirnya akan bertemu kembali.Karenanya, hanya ada satu cara untuk membuktikannya....
Kau tak percaya takdir, aku pun tidak.
Kau, aku, dan perjalanan ini.Begitulah sinopsisnya. Dan ternyata isinya sangat cocok dengan sinopsisnya.
Novel bergenre romantic-comedy ini bercerita tentang seorang cewek energetik penggila Korea dan seorang pria dingin, kaku, dan selalu mementingkan logika daripada perasaan. Mereka kebetulan ikut dalam sebuah tour ke Korea dan saling jatuh cinta.
Tentunya, cerita ini tak cuma sekadar bertemu-lalu-jatuh-cinta-kemudian-jadian. Tapi juga tentang bagaimana jika perasaan dikaitkan dengan logika.
Penasaran tentang lanjutannya? Baca sendiri, dan nikmati romantisnya.
Untuk para penggemar K-POP, novel ini bagaikan kado spesial dari kak Ori. Ceritanya adalah tentang jalan-jalan di Korea. Tak lupa juga, bagian-bagian dari novel ini diberi judul lagu K-POP terkenal. Karya ke-13 Orizuka ini bakal membawamu pada tour romantisme Korea. Dan dijamin abis baca, kamu jadi makin pengin mengunjungi negara negeri romantis itu.
Kalau kamu bukan penggemar K-POP, janganlah khawatir. Novel ini tetap bisa dinikmati, sekalipun oleh pembaca non K-Poppers. Orizuka sukses membuat pembacanya ngakak guling-guling. Dan siap-siap aja buat kamu yang bukan K-Poppers kalau jadi jatuh cinta sama K-Pop. ^o^
Top deh buat kak Orizuka. Walaupun penerbitannya sempat tertunda, tapi isi dari novelnya bener-bener bisa ngobatin kekecewaan karena lama nunggu terbitnya.
FIVE STARS for Infinitely Yours!
Jjang!
Monday, September 12, 2011
Pilihan
(cerpenku jaman jadul) ^^
Lusa, anak-anak kelas sembilan A menghadapi ulangan geografi. Semua anak belum belajar kecuali Ciara. Ciara suka dengan pelajaran geografi, wajar saja kerena cita-citanya adalah menjadi staf di BMG. Karena itu, ia ingin mendapatkan nilai yang baik.
Pagi itu, saat Ciara sedang asik membaca buku di bangkunya, seorang perempuan berkata dengan sinis, “Hey, kamu yang sok rajin!” perempuan itu adalah Lucia.
Sontak Ciara kaget lalu mengalihkan pendangannya ke Lucia. Ciara lalu berkata pada Lucia, “Kenapa? Ada yang salah jika aku belajar untuk ulangan geografi?”
“Tidak,” jawab Lucia. “Aku hanya ingin memintamu untuk memberiku sontekan ulangan geografi, dan kamu harus mau.”
“Apa?” tanya Ciara spontan. Ciara tak pernah curang saat ulangan. Ia juga tak rela jika jawabannya dilihat temannya karena itu juga curang menurutnya. Oleh karena itu ia selalu membuat benteng dari alat tulis untuk melindungi jawabannya.
Lucia pun mengulangi ucapannya dengan santai, “Berikan sontekan untukku saat ulangan geografi besok. Kalau kamu tidak mau…” Lucia tak meneruskan kalimatnya.
“Kalau aku tidak mau, kau mau apa?” tanya Ciara penasaran namun takut.
“Kalau tidak mau kamu dan sahabat baikmu, si lemot itu akan dikucilkan oleh seisi kelas ini,” ancam Lucia.
“Jangan panggil sahabatku lemot!” bentak Ciara. “Namanya Natya,” Ciara menambahkan. “Bagaimana kamu melakukan rencanamu itu?”
“Mudah saja. Aku akan memberi mereka uang dan kusuruh mereka menjauhimu. Lagipula kamu kan tak punya teman baik selain Natya si lemot. Siapa sih yang mau berteman dengan orang lemot dan yang sok rajin?” ujar Lucia. Lucia memang anak orang kaya dan ia selalu mendapatkan apa yang ia inginkan, jadi itu semua mungkin.
Mendengar ancaman Lucia, Ciara menjadi takut. Dulu saat masih SD, ia bersama sahabatnya sudah pernah dikucilkan oleh seisi kelas kerenanya. Oleh sebab itu, saat SMP, ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tak kan membiarkan sahabatnya ikut sengsara karena ulahnya.
“Oya, jangan beritahukan ini pada siapapun, kalau tidak, awas kamu!” ancam Lucia lagi. Wajah Ciara pun menjadi pucat ketakutan.
Setelah melihat muka Ciara yang menjadi pucat, Lucia tersenyum puas lalu pergi meninggalkan Ciara.
Ancaman dari Lucia membuat Ciara tidak konsentrasi saat pelajaran. Ada guru yang mengira Ciara sedang sakit dan menyuruh Ciara ke UKS, tapi Ciara berkata ia baik-baik saja.
Natya juga bertanya pada Ciara apakah Ciara baik-baik saja. Dan Ciara terpaksa berbohong pada sahabatnya dan mengatakan ia biaik-baik saja.
Sepulang sekolah, Lucia kembali mengingatkan Ciara tentang ancamannya. Itu membuat Ciara makin takut dan gelisah. Ia tak tahu harus berbuat apa.
Siang berganti malam. Malam berganti pagi. Itu artinya ulangan geografi tinggal besok. Rasa takut Ciara semakin tak karuan. Apa yang harus kupilih? Kejujuran atau Pertemanan? Hati Ciara bertanya.
Pelajaran hari ini dilewatkan Ciara tanpa konsentrasi. Yang ada di pikirannya hanyalah dua pilihan yang sulit itu. Sepulang sekolah, Natya menanyakan pada Ciara apakah Ciara sedang punya masalah. Tapi Ciara tak menjawab.
“Ya sudah. Kalau kamu tak mau menceritkannya padaku tak apa-apa,” kata Natya pada sahabatnya itu dan berjalan meninggalkan Ciara.
“Natya!” panggil Ciara sambil berlari mengejar Natya.
“Apa? Kau ingin menceritakan masalahmu padaku?” tanya Natya seolah tahu apa yang ada di dalam kepala Ciara.
“I… iya,” jawab Ciara gugup. Ia takut karena Lucia telah menyuruhnya tutup mulut tentang masalah itu.
“Hm, kalau kamu mau menceritakan masalahmu padaku, jangan gugup begitu. Lagi pula disini sudah lumayan sepi,” kata Natya.
Setelah memastikan Lucia sudah pulang, Ciara menceritakan masalahnya pada Natya. Natya hanya mengangguk-angguk saat mengetahui bahwa masalah itu menyangkut dirinya.
“Lalu, aku harus berbuat apa?” tanya Ciara setelah selesai menceritakan masalahnya pada Natya.
Natya memasang muka heran, lalu bertanya kembali, “Ciara, maaf. Kenapa kamu menanyakan padaku apa yang harus kamu perbuat?”
“Karena kamu sahabatku, dan kamu pasti tahu apa yang kamu perbuat. Lagipula kamu yang telah menyuruhku menceritakan masalahku. Seharusnya kamu beri aku jawaban atas masalahku!” Emosi Ciara naik. “Kalau kamu tak bisa memberikan aku jawaban, lalu aku harus bertanya pada siapa agar yang kuperbuat itu benar?”
“Ciara, setiap pilihan punya resiko,” Natya berkata dengan lembut. “Dan yang bisa menjawabnya…” Natya tak meneruskan kata-katanya karena tiba-tiba handphone-nya berbunyi. Ternyata ia sudah ditunggu supirnya dari tadi.
“Ciara, maaf. Aku sudah harus pulang,” pamit Natya.
“Lalu aku harus bertanya pada siapa?” tanya Ciara memohon jawaban dari Natya.
Natya hanya tersenyum lalu ia menunjuk Ciara. Setelah itu Natya berlari meninggalkan Ciara.
Ciara kebingungan. Ia sempat menoleh ke belakang. Namun tak ada siapa-siapa. Berarti yang ditunjuk Natya memang dirinya. Mengapa aku yang bertanya, tapi aku yang menjawabnya? Tanya Ciara dalam hati.
Lusa, anak-anak kelas sembilan A menghadapi ulangan geografi. Semua anak belum belajar kecuali Ciara. Ciara suka dengan pelajaran geografi, wajar saja kerena cita-citanya adalah menjadi staf di BMG. Karena itu, ia ingin mendapatkan nilai yang baik.
Pagi itu, saat Ciara sedang asik membaca buku di bangkunya, seorang perempuan berkata dengan sinis, “Hey, kamu yang sok rajin!” perempuan itu adalah Lucia.
Sontak Ciara kaget lalu mengalihkan pendangannya ke Lucia. Ciara lalu berkata pada Lucia, “Kenapa? Ada yang salah jika aku belajar untuk ulangan geografi?”
“Tidak,” jawab Lucia. “Aku hanya ingin memintamu untuk memberiku sontekan ulangan geografi, dan kamu harus mau.”
“Apa?” tanya Ciara spontan. Ciara tak pernah curang saat ulangan. Ia juga tak rela jika jawabannya dilihat temannya karena itu juga curang menurutnya. Oleh karena itu ia selalu membuat benteng dari alat tulis untuk melindungi jawabannya.
Lucia pun mengulangi ucapannya dengan santai, “Berikan sontekan untukku saat ulangan geografi besok. Kalau kamu tidak mau…” Lucia tak meneruskan kalimatnya.
“Kalau aku tidak mau, kau mau apa?” tanya Ciara penasaran namun takut.
“Kalau tidak mau kamu dan sahabat baikmu, si lemot itu akan dikucilkan oleh seisi kelas ini,” ancam Lucia.
“Jangan panggil sahabatku lemot!” bentak Ciara. “Namanya Natya,” Ciara menambahkan. “Bagaimana kamu melakukan rencanamu itu?”
“Mudah saja. Aku akan memberi mereka uang dan kusuruh mereka menjauhimu. Lagipula kamu kan tak punya teman baik selain Natya si lemot. Siapa sih yang mau berteman dengan orang lemot dan yang sok rajin?” ujar Lucia. Lucia memang anak orang kaya dan ia selalu mendapatkan apa yang ia inginkan, jadi itu semua mungkin.
Mendengar ancaman Lucia, Ciara menjadi takut. Dulu saat masih SD, ia bersama sahabatnya sudah pernah dikucilkan oleh seisi kelas kerenanya. Oleh sebab itu, saat SMP, ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tak kan membiarkan sahabatnya ikut sengsara karena ulahnya.
“Oya, jangan beritahukan ini pada siapapun, kalau tidak, awas kamu!” ancam Lucia lagi. Wajah Ciara pun menjadi pucat ketakutan.
Setelah melihat muka Ciara yang menjadi pucat, Lucia tersenyum puas lalu pergi meninggalkan Ciara.
Ancaman dari Lucia membuat Ciara tidak konsentrasi saat pelajaran. Ada guru yang mengira Ciara sedang sakit dan menyuruh Ciara ke UKS, tapi Ciara berkata ia baik-baik saja.
Natya juga bertanya pada Ciara apakah Ciara baik-baik saja. Dan Ciara terpaksa berbohong pada sahabatnya dan mengatakan ia biaik-baik saja.
Sepulang sekolah, Lucia kembali mengingatkan Ciara tentang ancamannya. Itu membuat Ciara makin takut dan gelisah. Ia tak tahu harus berbuat apa.
Siang berganti malam. Malam berganti pagi. Itu artinya ulangan geografi tinggal besok. Rasa takut Ciara semakin tak karuan. Apa yang harus kupilih? Kejujuran atau Pertemanan? Hati Ciara bertanya.
Pelajaran hari ini dilewatkan Ciara tanpa konsentrasi. Yang ada di pikirannya hanyalah dua pilihan yang sulit itu. Sepulang sekolah, Natya menanyakan pada Ciara apakah Ciara sedang punya masalah. Tapi Ciara tak menjawab.
“Ya sudah. Kalau kamu tak mau menceritkannya padaku tak apa-apa,” kata Natya pada sahabatnya itu dan berjalan meninggalkan Ciara.
“Natya!” panggil Ciara sambil berlari mengejar Natya.
“Apa? Kau ingin menceritakan masalahmu padaku?” tanya Natya seolah tahu apa yang ada di dalam kepala Ciara.
“I… iya,” jawab Ciara gugup. Ia takut karena Lucia telah menyuruhnya tutup mulut tentang masalah itu.
“Hm, kalau kamu mau menceritakan masalahmu padaku, jangan gugup begitu. Lagi pula disini sudah lumayan sepi,” kata Natya.
Setelah memastikan Lucia sudah pulang, Ciara menceritakan masalahnya pada Natya. Natya hanya mengangguk-angguk saat mengetahui bahwa masalah itu menyangkut dirinya.
“Lalu, aku harus berbuat apa?” tanya Ciara setelah selesai menceritakan masalahnya pada Natya.
Natya memasang muka heran, lalu bertanya kembali, “Ciara, maaf. Kenapa kamu menanyakan padaku apa yang harus kamu perbuat?”
“Karena kamu sahabatku, dan kamu pasti tahu apa yang kamu perbuat. Lagipula kamu yang telah menyuruhku menceritakan masalahku. Seharusnya kamu beri aku jawaban atas masalahku!” Emosi Ciara naik. “Kalau kamu tak bisa memberikan aku jawaban, lalu aku harus bertanya pada siapa agar yang kuperbuat itu benar?”
“Ciara, setiap pilihan punya resiko,” Natya berkata dengan lembut. “Dan yang bisa menjawabnya…” Natya tak meneruskan kata-katanya karena tiba-tiba handphone-nya berbunyi. Ternyata ia sudah ditunggu supirnya dari tadi.
“Ciara, maaf. Aku sudah harus pulang,” pamit Natya.
“Lalu aku harus bertanya pada siapa?” tanya Ciara memohon jawaban dari Natya.
Natya hanya tersenyum lalu ia menunjuk Ciara. Setelah itu Natya berlari meninggalkan Ciara.
Ciara kebingungan. Ia sempat menoleh ke belakang. Namun tak ada siapa-siapa. Berarti yang ditunjuk Natya memang dirinya. Mengapa aku yang bertanya, tapi aku yang menjawabnya? Tanya Ciara dalam hati.
Saturday, September 10, 2011
Genom - by Matt Ridley : Autobiografi Spesies Manusia
Judul : Genom
Penulis : Matt Ridley
Penerjemah : Alex Tri Kantjono W.
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit : 2005
Tebal : xiii+384 halaman
Buku ini adalah hasil karya Matt Ridley, seorang penulis yang juga pernah menjadi editor sains. Di bukunya yang berjudul Genom ini, pembaca diajak untuk menapak tilas sejarah spesies manusia berikut nenek-nenek moyangnya, sejak fajar kehidupan hingga peluang datangnya zaman kedokteran masa depan. Yang menarik, ia menyajikannya dalam dua puluh tiga bab, sesuai dengan jumlah pasangan kromosom manusia.
Berawal dari pernyataan seorang spesialis biologi evolusi tentang kromosom favoritnya, Matt Ridley mencoba menceritakan kisah yang belum tersingkap mengenai genom manusia secara rinci, kromosom demi kromosom, dengan mengambil satu gen dari tiap kromosom untuk bercerita apa adanya. Ia membayangkan genom manusia sebagai semacam autobiografi yang tertulis dengan sendirinya.
Genom manusia merupakan seperangkat lengkap gen manusia. Jika genom diumpamakan sebagai sebuah buku, maka buku itu terdiri dari dua puluh tiga bab yang disebut kromosom, dan tiap bab berisi beberapa ribu cerita yang disebut gen. Cerita tersebut ditulis hanya dengan empat huruf: A, T, C, dan G.
Pasangan kromosom manusia diberi nomor berdasarkan urutan ukuran, dari yang paling besar (nomor 1) hingga yang paling kecil (nomor 22), sedangkan sepasang sisanya terdiri atas kromosom seks, yang dalam hal ukuran kromosom X terletak antara kromosom 7 dan 8, dan kromosom Y paling kecil. Berdasarkan urutan itulah, Penulis membuka wawasan kita mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan suatu kromosom. Misalnya pada bab ke-4 tentang kromosom 4, Penulis bercerita tentang penyakit genetik yang disebut Huntington yang disebabkan karena perulangan “kata” CAG di bagian tengah gen dalam kromosom itu. Ia juga menjelaskan secara detail bagaimana perulangan “kata” CAG tersebut bisa menyebabkan penyakit yang mematikan.
Dalam buku ini, Matt Ridley juga menjelaskan tentang berbagai macam gen dalam tubuh manusia, antara lain gen-gen yang dimiliki bakteri, gen-gen yang membedakan kita dari simpanse, gen-gen yang mungkin mengutuk kita dengan penyakit-penyakit mematikan, gen-gen yang mungkin mempengaruhi kecerdasan kita, gen-gen yang memungkinkan kita bertatabahasa, gen-gen yang memandu perkembangan tubuh dan otak kita, gen-gen yang memungkinkan kita mengingat, gen-gen yang menunjukkan keistimewaan unsur bawaan dan pengaruh pengasuhan, gen-gen yang membebani kita dengan kecenderungan egois, gen-gen yang saling berperang, juga gen-gen yang merekam sejarah perpindahan penduduk.
Matt Ridley menggali semua masalah baik ilmiah, filosofis, maupun moral yang muncul akibat pemetaan genom. Ia mampu menerangkan baik masalah-masalah moral yang pelik, situasi-situasi filosofis yang rumit, maupun biokimia yang teknis dengan menarik. Penuturannya akan memudahkan kita memahami makna batu pijakan ilmiah bagi kita, bagi anak-anak, dan bagi seluruh umat manusia.
Buku ini dilengkapi dengan pendahuluan yang menerangkan sekilas kepada kita tentang istilah-istilah dalam genetika, sehingga seorang awam-pun akan dapat memahami seluruh isi dari buku ini.
Walaupun tampilan buku ini cenderung membosankan dengan gambar yang minim, secara keseluruhan, buku ini patut dibaca. Buku ini bukan hanya berharga bagi orang yang cinta akan biologi, namun juga seluruh lapisan masyarakat yang haus akan pengetahuan. Tanpa kecuali mereka yang paling alergi terhadap teknologi.
Subscribe to:
Posts (Atom)